Home » Dirut AirNav Indonesia Diperiksa KPK Terkait Dugaan Proyek Fiktif
Asia Featured Indonesia News

Dirut AirNav Indonesia Diperiksa KPK Terkait Dugaan Proyek Fiktif

Direktur Utama AirNav Indonesia Polana Banguningsih Pramesti diperiksa Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK pada Kamis (3/8), sebagai saksi dalam penyidikan perkara dugaan tindak pidana korupsi pengadaan proyek fiktif di PT Amarta Karya Tahun 2018-2020.

Polana diperiksa di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan. Selain Polana, KPK juga memeriksa Building Manager Kawasan Taman Melati Margonda Ashadi Cahyadi menyangkut perkara yang sama.

“Kedua saksi hadir dan didalami pengetahuannya antara lain dugaan adanya aliran uang proyek fiktif PT AK (Amarta Karya) ke beberapa kegiatan bisnis perusahaan,” terang Kepala Bagian Pemberitaan KPK Ali Fikri di Jakarta, seperti dilansir Antara, Kamis (3/8).

Namun, Ali Fikri tidak merinci lebih lanjut soal kegiatan bisnis perusahaan yang diduga mendapat aliran dana dari proyek fiktif PT Amarta Karya. Dia juga tidak mengungkapkan berapa besar aliran dana itu.

Menurut Ali, KPK masih bakal terus memanggil beberapa pihak yang diduga punya informasi mengenai perkara dugaan proyek fiktif PT Amarta Karya untuk dimintai keterangan. “Selanjutnya akan didalami dan dikonfirmasi lebih lanjut ke beberapa pihak,” kata Ali Fikri.

Terdapat dua tersangka dalam kasus dugaan proyek fiktif PT Amarta Karya. Tersangka pertama yakni mantan Direktur Utama Catur Prabowo (CP) dan kedua, mantan Direktur Keuangan PT Amarta Karya Trisna Sutisna (TS).

KPK telah melakukan penahan terhadap dua tersangka tersebut sejak Mei lalu. Pengungkapan kasus ini bermula pada 2017 ketika tersangka Trisna menerima perintah dari Catur Prabowo yang kala itu masih menjabat Direktur Utama PT Amarta Karya.

Catur memerintahkan Trisna dan pejabat di bagian akuntansi PT Amarta Karya untuk mempersiapkan sejumlah uang yang diperuntukkan bagi kebutuhan pribadinya dengan sumber dana yang berasal dari pembayaran berbagai proyek yang dikerjakan PT Amarta Karya.

Tersangka TS bersama dengan beberapa staf di PT Amarta Karya kemudian mendirikan badan usaha berbentuk CV, yang digunakan menerima pembayaran subkontraktor dari PT Amarta Karya tanpa melakukan pekerjaan alias fiktif.

Lalu pada 2018, dibentukbeberapa badan usaha CV fiktif sebagai vendor yang akan menerima berbagai transaksi pembayaran dari kegiatan proyek PT Amarta Karya dan hal ini sepenuhnya atas sepengetahuan tersangka CP dan TS.

Untuk pengajuan anggaran pembayaran vendor, tersangka CP selalu memberikan disposisi “lanjutkan” dibarengi dengan persetujuan surat perintah membayar (SPM) yang ditandatangani tersangka TS.

Buku rekening bank, kartu ATM, dan bonggol cek dari badan usaha CV fiktif itu dipegang staf bagian akuntansi PT Amarta Karya yang menjadi orang kepercayaan CP dan TS untuk memudahkan pengambilan dan pencairan uang sesuai dengan permintaan tersangka CP.

Uang yang diterima tersangka CP dan TS kemudian diduga antara lain digunakan untuk membayar tagihan kartu kredit, pembelian emas, perjalanan pribadi ke luar negeri, pembayaran “member golf”, dan pemberian ke beberapa pihak terkait lainnya.

Perbuatan kedua tersangka tersebut diduga mengakibatkan kerugian keuangan negara sekitar Rp46 miliar.

Atas perbuatannya kedua tersangka dijerat dengan Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Source : CNN

Translate