Temuan fosil Homo floresiensis atau Manusia Hobbit dari Indonesia berhasil mengubah sejarah soal pemahaman mengenai evolusi manusia. Fosil ini pertama kali ditemukan di Gua Liang Bua, Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT) pada 2003, tepat 20 tahun yang lalu.
Arkeolog Indonesia, Thomas Sutikna masih ingat betul soal penemuan itu.
Ia menceritakan saat itu dirinya sedang dirawat karena demam di sebuah kamar hotel pada tanggal 2 September 2003, ketika rekan kerjanya menyampaikan informasi mengenai penemuan yang ternyata merupakan penemuan sekali seumur hidup.
Sebelumnya pada hari itu, sekop seorang rekan kerja telah menghantam tengkorak kecil mirip manusia yang terbungkus sedimen sedalam 6 meter di Liang Bua yang telah digali oleh Sutikna dan rekan-rekannya sejak tahun 2001.
Demam Sutikna segera hilang, dan setelah tidur nyenyak semalaman, ia dan timnya berangkat ke lokasi saat matahari terbit.
“Ada tulang kaki, tulang tangan, tulang kering, tulang paha, dikelompokkan di sana, dalam satu konteks. Mengingat kondisi tulang yang sangat rapuh, tidak memungkinkan untuk mengangkatnya (dari tanah) dengan segera,” kenang Sutikna, yang kini menjadi arkeolog dan peneliti di Pusat Penelitian Arkeologi Indonesia di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), mengutip CNN, Sabtu (2/9).
Mulanya, tim mengira tengkorak kecil dan tulang belulang lainnya itu milik seorang anak kecil, tapi ketika Sutikna membersihkan fosil tersebut di hotel, ia melihat fosil itu memiliki gigi geraham orang dewasa.
Fosil itu kelihatannya adalah jenis manusia yang baru, spesimen perempuan yang tingginya lebih dari 1 meter dan berat sekitar 30 kilogram.
“Kami semua terkejut dengan fosil tersebut, karena setelah dibersihkan terlihat semua giginya telah tumbuh dan masih utuh. Tulang tengkorak juga menunjukkan itu adalah tulang orang dewasa, bukan tengkorak anak-anak,” kata Sutikna.
Kini, 20 tahun kemudian, para ilmuwan masih berjuang untuk secara definitif menempatkan potongan misterius dari evolusi yang penuh teka-teki ini.
Namun, penemuan ini telah membawa pada pengungkapan yang mengubah apa yang selama ini diketahui tentang silsilah keluarga manusia.
Penemuan yang mengejutkan
Tim dan kolaborator internasional sejak awal mengetahui yang mereka temukan adalah terobosan, dan mereka merahasiakan penemuan itu selama lebih dari satu tahun agar sisa-sisa tulang belulang tersebut dapat dipelajari secara terperinci.
Mereka kemudian mempublikasikan hasil penelitian itu dalam dua studi yang terbit dalam jurnal ilmiah terkemuka, Nature.
Setahun kemudian, temuan tersebut menggemparkan ranah paleoantropologi, ilmu yang mempelajari asal usul dan perkembangan manusia dengan fosil manusia sebagai objek penelitiannya, dan memikat khalayak yang lebih luas, serta menjadi berita utama di seluruh dunia.
Spesimen itu kemudian diberi nama hobbit oleh Mike Morwood, mendiang arkeolog Australia yang juga memelopori penggalian tersebut. Pasalnya, temuan itu terlihat mirip dengan karakter Hobbit dari film Lord of The Rings.
Para peneliti kemudian mengukur volume tempurung otaknya dengan biji sawi yang dikirim dari Australia.
Dari hasil penelitian diketahui bahwa volume tempurung otaknya hanya sekitar 400 mililiter, mirip dengan simpanse, lebih kecil volume tempurung otak manusia modern 1.500 mililiter. Kakinya pendek dan tidak proporsional, sementara lengannya panjang seperti primata.
Penanggalan awal karbon dalam sedimen menentukan sisa-sisa fosil tersebut berusia 18.000 tahun, menempatkan spesies ini lebih dekat dengan kita dibandingkan dengan Neanderthal.
Namun, penanggalan tersebut direvisi pada tahun 2016, dan memperkirakan bahwa hobbit tersebut berusia 50.000 hingga 60.000 tahun.
Tim Liang Bua menamai spesies ini Homo floresiensis sesuai dengan nama pulau tempat fosil-fosil itu ditemukan.
Penemuan ini mematahkan gagasan bahwa manusia berevolusi dalam sebuah garis yang teratur dari primitif ke kompleks dan menggarisbawahi betapa banyak hal yang masih belum diketahui tentang kisah manusia.
“[Spesimen] ini hanya keliru sekitar lima cara yang berbeda dan tidak terduga sampai-sampai orang berpikir bahwa hal ini tidak mungkin terjadi,” kata Paige Madison, sejarawan paleoantropologi.
Bagaimana hobbit bisa muncul
Sejumlah ahli evolusi manusia bersikeras bahwa fosil-fosil yang ditemukan di Liang Bua adalah tulang manusia modern yang mengalami gangguan pertumbuhan. Namun, hal ini memicu perdebatan sengit.
Tim yang menemukan hobbit tidak setuju dan mengajukan dua teori.
Kemungkinan besar, menurut anggota tim, temuan mereka adalah cabang kerdil dari Homo erectus, spesies manusia pertama yang meninggalkan Afrika dan bermigrasi ke seluruh dunia, yang sisa-sisanya telah ditemukan di Jawa dan tempat lain di Asia.
Bentuk gigi dan morfologi tengkorak mirip, meskipun Homo erectus berdiri lebih tinggi.
Para peneliti mengungkapkan ada kemungkinan Homo erectus melakukan apa yang dilakukan beberapa spesies hewan lain yang hidup di pulau-pulau terpencil, yakni menyusut dari waktu ke waktu sebagai respons terhadap sumber daya yang terbatas.
Namun, tempurung kepala yang kecil dan tulang pergelangan tangan yang seperti tulang pipa menunjukkan manusia hobbit terkait dengan australopithecines, hominin bertubuh kecil dari fosil Lucy yang berkeliaran di Afrika lebih dari 2 juta tahun lalu.
Hubungan potensial ini memunculkan kemungkinan bahwa australopithecines juga pernah bermigrasi keluar dari Afrika jutaan tahun lalu.
Chris Stringer, pemimpin penelitian evolusi manusia di Natural History Museum di London menyatakan bagaimana persisnya hobbit muncul masih menjadi pertanyaan terbuka.
“Saya ragu-ragu dalam hal ini karena saya bisa melihat bukti dari kedua sisi argumen dan saya pikir kita masih belum tahu dari mana asal-usulnya,” kata Stringer.
Namun, gagasan bahwa hobbit adalah manusia modern yang sakit telah banyak ditolak.
Sebelum penemuan hobbit, banyak ahli evolusi manusia mengira pada dasarnya hanya ada satu spesies manusia yang berevolusi dari waktu ke waktu, dengan variasi regional.
Masih banyak misteri
Matt Tocheri, ketua penelitian asal-usul manusia di Lakehead University di Thunder Bay, Ontario, Kanada, pertama kali melihat gips hobbit Liang Bua sekitar tahun 2006 dalam sebuah presentasi mengenai konservasi fosil di Smithsonian Institution.
Ia menyebut pergelangan tangan itu lebih mirip dengan kera Afrika daripada manusia. Hal ini membuatnya yakin Homo floresiensis lebih dekat hubungannya dengan Lucy dan kerabatnya daripada Homo erectus yang diperkecil.
Pada tahun 2014, sebagian tulang rahang dan gigi Homo floresiensis ditemukan di situs lain di Flores yang disebut Mata Menge dan berasal dari 700 ribu tahun yang lalu.
Ukurannya serupa, menunjukkan hobbit Flores telah memperoleh ukuran tubuh mereka yang sangat kecil pada masa awal, bertentangan dengan gagasan bahwa hobbit adalah sejenis manusia kerdil yang berevolusi.
Namun, para ahli lain berpendapat kekerdilan bisa saja terjadi lebih jauh di masa lalu atau di pulau yang berbeda.
Tocheri menambahkan, ada kemungkinan perawakan kecil hobbit adalah hasil dari dimorfisme seksual, ketika kedua jenis kelamin memiliki karakteristik fisik yang berbeda.
Hipotesis yang berlaku adalah hobbit Liang Bua adalah betina karena bentuk panggulnya yang lebih lebar, dan tidak jelas seperti apa bentuk hobbit jantan.
Meskipun lebih dari 100 fosil Homo floresiensis telah ditemukan hingga saat ini, hanya ada satu kerangka yang relatif lengkap dan hanya satu tengkorak, yang merupakan bagian tubuh yang paling informatif.
“Masih banyak hal yang belum diketahui, kita harus sangat berhati-hati,” kata Tocheri.
Untuk menyelesaikan perdebatan ini dan memahami lebih lanjut tentang Homo floresiensis dan tempatnya dalam silsilah keluarga manusia, diperlukan lebih banyak penemuan fosil, terutama di Asia.
Sebagai contoh, kata Tocheri, tidak ada tulang pergelangan tangan Homo erectus yang diketahui untuk dibandingkan dengan tulang pergelangan tangan hobbit.
Para ilmuwan juga berharap dapat mengekstrak DNA purba dari Liang Bua.
Upaya-upaya yang dilakukan sejauh ini belum berhasil, namun teknik-teknik baru, termasuk mengekstraksi DNA dari kotoran gua atau menguraikan protein kuno, dapat membantu menjelaskan dengan hominin mana hobbit itu paling dekat hubungannya.
“Mereka melihatnya seperti cawan suci genom,” kata Madison, sang penulis sains.
“Tampaknya hobbit mungkin berada di ujung tanduk dalam hal memulihkan genom. Bukan karena terlalu tua, karena mereka memiliki genom yang jauh lebih tua, tapi karena kondisi lingkungan sangat penting dalam melestarikannya (DNA).”
“Dan lingkungan yang panas, lembab, itu adalah lingkungan yang sangat sulit bagi mereka untuk mengambil DNA,” ujarnya.
Kisah berbeda
Masih banyak yang harus dipelajari tentang hobbit.
Misalnya, Sutikna heran bagaimana hominin yang tampak primitif seperti itu bisa mencapai Flores: Hanya Homo sapiens yang diperkirakan mampu membuat kapal laut, dan Flores tidak pernah terhubung dengan daratan yang luas, sehingga manusia purba tidak mungkin berjalan ke sana.
Studi tentang arus laut menunjukkan bahwa spesies ini mungkin berasal dari Sulawesi, meskipun fosil Homo floresiensis hanya ditemukan di Flores. Stringer mengatakan ada kemungkinan sekelompok hobbit tersapu ke daratan setelah tsunami.
Para arkeolog dan ahli paleontologi juga telah mengumpulkan beberapa informasi tentang kehidupan para hobbit. Pulau mereka adalah rumah bagi ekosistem gajah kerdil yang kini telah hilang, stegodon setinggi 1,2 meter, burung bangau kolosal setinggi 2 meter, komodo, dan tikus raksasa.
Tidak jelas apakah para hobbit berburu atau memakan binatang-binatang ini, meskipun Tocheri mengatakan kemungkinan besar mereka berburu karena ukuran para hobbit.
Walaupun arang telah ditemukan di dalam gua, sekarang diperkirakan bukti penggunaan api ini terkait dengan hunian manusia modern yang datang kemudian, bukan hobbit.
Misteri lainnya adalah mengapa para hobbit menghilang setelah bertahan begitu lama di Flores. Sutikna mengatakan lapisan abu vulkanik yang tebal ditemukan tepat di atas lapisan tempat Homo floresiensis pertama kali ditemukan.
“Kami memperkirakan setidaknya telah terjadi delapan kali letusan gunung berapi. Dan di atas lapisan abu vulkanik tersebut, kami tidak menemukan fosil Homo floresiensis atau hewan purba lainnya. Namun, kami tidak dapat memastikan apakah bencana alam ini memusnahkan Homo floresiensis,” ujar Sutikna.
Tocheri mengatakan tidak mungkin gunung berapi saja yang memusnahkan para hobbit. Pulau Flores selalu aktif secara vulkanik, dan hobbit telah tinggal di sana selama hampir 1 juta tahun.
Menurut Tocheri, kemungkinan besar, itu adalah kombinasi dari beberapa faktor, seperti perubahan iklim serta kemungkinan kedatangan Homo sapiens di wilayah itu yang membuat hobbit punah.
Madison menambahkan, apapun yang menyebabkan kepunahan hobbit, penemuan ini mengajarkan tentang posisi manusia dalam pohon evolusi dan alam secara lebih luas.
“Kita tahu banyak tentang prinsip-prinsip evolusi pada saat ini, tapi terkadang saya pikir kita sedikit ragu untuk menerapkannya pada diri kita sendiri. Saya pikir [penemuan ini] mengingatkan kita bahwa kita hanyalah salah satu hasil evolusi,” kata Madison.
Tocheri menyetujui pernyataan Madison dan mengatakan bahwa penemuan ini tidak benar-benar menulis ulang apa yang sudah diketahui, namun secara eksplosif menunjukkan bahwa ada babak baru soal evolusi manusia.
Sumber : CNN