Presiden Joko Widodo telah melakukan rapat internal tentang perdagangan karbon di Istana Merdeka, Jakarta, Rabu (3/5/2023) dengan beberapa menteri. Ada beberapa keputusan terbaru dari kegiatan jual beli karbon kredit ini.
Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia mengatakan potensi karbon di Indonesia sangat besar. Dimana dalam rapat diputuskan kalau mekanisme perdagangan akan diatur dalam bursa karbon yang diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
“Diputuskan bahwa karbon di Indonesia sifatnya itu terbuka, tapi tapi harus teregistrasi dan harus semuanya lewat mekanisme tata kelola perdagangan dalam bursa karbon di Indonesia lewat OJK. nanti OJK yang akan mengatur,” kata Bahlil, usai rapat.
Kedua, keputusan yang sudah disepakati mengenai penataan perizinan bagi wilayah area konsesi seperti hutan lindung dan konservasi.
Ketiga, juga mengenai harga karbon yang sudah ditentukan di bursa Indonesia tidak boleh dijual kepada bursa lain di luar negeri. “Kita ingin dijual di bursa-bursa Indonesia dan harganya harus lebih baik,” sebutnya.
Selain itu Bahlil juga bicara mengenai adanya sertifikasi konsesi lahan penghasil karbon sebelum bisa melakukan perdagangan karbon. Dimana registrasi akan dilakukan oleh Kementerian Lingkungan dan Kehutanan (LHK).
“Kalau tidak dibuat sertifikasi kita tidak tahu berapa (karbon) yang pergi. Kemudian ini juga menjadi sumber pendapatan negara kita,” kata Bahlil.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengungkapkan, dalam rapat itu juga dibahas harus ada pihak yang yang melakukan pendaftaran atau penerbitan.
“Pertama harus ada yang meng-issue atau issuer, atau emitennya. dan sektornya tentu berkaitan dengan energi,” kata Airlangga.
Dimana nantinya dalam perdagangannya bisa diterapkan electronic trading system dan berbasis pada teknologi. Juga bisa melakukan pelacakan terhadap situasi karbon terkini.
Selain itu Airlangga juga berharap perdagangan karbon ini bisa mengukur kepatuhan Indonesia terhadap target Nationally Determined Contribution (NDC). Sehingga dibutuhkan sebuah lembaga dan institusi besar yang bisa menjadi market maker.
Perdagangan Karbon
Menurut laporan IPEHIJAU organisasi masyarakat yang peduli lingkungan, yaitu perdagangan karbon berawal dari Protokol Kyoto, sebuah perjanjian PBB yang menetapkan tujuan pengurangan emisi karbon global dan mitigasi perubahan iklim mulai tahun 2005. Pada saat itu, ukuran yang dirancang dimaksudkan untuk mengurangi emisi karbon dioksida secara keseluruhan menjadi sekitar 5% di bawah Tingkat 1990 pada tahun 2012. Protokol Kyoto mencapai hasil yang beragam dan perpanjangan ketentuannya belum diratifikasi
Gagasannya adalah untuk memberi insentif kepada setiap negara untuk mengurangi emisi karbonnya agar memiliki sisa izin untuk menjual. Negara-negara yang lebih besar dan lebih kaya secara efektif mensubsidi upaya negara-negara yang lebih miskin dan berpolusi tinggi dengan membeli kredit mereka. Namun seiring berjalannya waktu, negara-negara kaya tersebut mengurangi emisinya sehingga mereka tidak perlu membeli sebanyak mungkin di pasar.
Ketika negara menggunakan bahan bakar fosil dan menghasilkan karbon dioksida, mereka tidak membayar implikasi dari pembakaran bahan bakar fosil tersebut secara langsung. Ada beberapa biaya yang mereka keluarkan, seperti harga bahan bakar itu sendiri, tetapi ada biaya lain yang tidak termasuk dalam harga bahan bakar tersebut. Ini dikenal sebagai eksternalitas. Dalam hal penggunaan bahan bakar
Sumber: cnbcindonesia