Terengah-engah kami mendaki sambil berpegangan erat pada railing tangga. Hari baru saja diguyur hujan pagi di bulan Oktober 2022 itu, menyisakan rintik-rintik yang membuat anak tangga dari besi jadi licin. Tower setinggi 40 meter yang kami naiki adalah menara pemantau burung, satwa, dan segala macam keperluan riset yang terletak di dalam perut hutan Amazon. Untuk menjangkaunya diperlukan empat jam perjalanan dari Manaus, ibukota negara bagian Amazonas, Brasil.
Sampai di puncak, Menara berderak sedikit ke kanan-kiri, tetapi untung perhatian segera terpusat pada pemandangan sekeliling: atap hutan tropis Amazon yang hijau keputihan, segar dan ramai oleh suara satwa.
Dalam 60 menit berikutnya saya dan rombongan wartawan asing dari seluruh dunia yang beruntung diundang UN Foundation mengunjungi hutan Amazon sibuk mengagumi belasan spesies burung yang hingga di puncak pepohonan di sekeliling.
Tukan, kakatua, egret, elang, juga serombongan monyet yang jejeritan (howling monkeys) entah dari arah mana. Dengan lensa tele, akan kelihatan warna-warni bulu dan gerak-gerik burung-burung indah endemik Amazon ini.
Sekilas, tampak tak ada yang aneh dari hutan ini. Amazon adalah salah satu ekosistem hutan tropis paling penting di dunia. Luasan hutan dan sungai Amazon mencapai tujuh juta kilometer dan merupakan bagian dari delapan negara, termasuk Brasil.
Namun menurut sejumlah studi, Amazon sedang berada di titik nadir. Salah satu studi yang diterbitkan Nature Climate Oktober tahun 2021 menyebut Amazon terancam berubah jadi savannah (padang rumput) dalam lima tahun jika peralihan guna hutan terus terjadi.
Titik balik (tipping point) akan menyebabkan Amazon yang selama ini jadi penyedot emisi karbon dunia (carbon sink) justru jadi biang emisi karbon (carbon source). Ini akan memicu percepatan perubahan iklim yang sulit diperbaiki dan mengundang berbagai bencana dahsyat.
“Tanda-tandanya sekarang sudah bisa kita lihat. Kita sekarang ada di tengah Amazon dan tahun ini kita mengalami kekeringan parah. Banyak bagian dari Amazon yang saat ini kekeringan, banyak suku asli terisolasi di tengahnya,” kata Rita Mesquita, seorang ilmuwan yang sudah meneliti dampak deforestasi Amazon selama 40 tahun.
Menurut Mesquita kekeringan akan menyulut lebih banyak kebakaran hutan dan memperparah krisis air di Amazon.
Dengan berkurangnya daerah tutupan hijau, kemampuan Amazon untuk memproduksi uap air guna mendorong terciptanya hujan juga akan berkurang. Dampaknya akan sangat serius — bukan hanya di Amazon tetapi sampai berbagai wilayah Benua Amerika lainnya seperti kebakaran hutan di Amerika Serikat dan terancamnya hasil panen di berbagai negara di Amerika Selatan.
Ilmuwan seperti Mesquita meyakini bahwa tipping point sudah mulai terjadi, meski sebagian ilmuwan lain melihat bahwa “masih ada waktu” untuk mengejar dampak perubahan iklim agar tipping point agar tak betul terjadi.
Philip Fernside sudah meneliti kaitan antara konservasi dan aktivitas manusia di Amazon selama puluhan tahun. Menurutnya ada berbagai cara melihat jika tipping point sudah terjadi.
“Salah satunya dengan mengukur persentase tutupan hutan yang dipertahankan sebagaimana aslinya. Studi Tomas Lovejoy dan Carlos Nobre memperkirakan titik kritis ini berada di 20-25% hutan yang dieskploitasi. Hutan Amazon di Brasil deforestasi sudah mencapai 20% luasan hutannya, bahkan di wilayah timur Brasil, persentasenya jauh melewati batas ini,” tulis Fernside menjawab pertanyaan CNN Indonesia.
Fernside mengingatkan bahwa titik kritis ini tidak bisa diilustrasikan seperti “orang terjun dari tebing”, yaitu di satu sisi aman, satu langkah kemudian terjatuh ke jurang.
“Sebaliknya, tipping point menggambarkan kondisi ketika terjadi peningkatan signifikan potensi bencana; kalau terlewati maka probabilitas terjadi bencana akan meningkat tajam, tetapi bukan berarti dunia langsung kiamat kala titik kritis ini terlewati,” ujarnya.
Di bawah era pemerintahan Presiden Jair Bolsonaro (2019-2022) pembalakan hutan di Brasil mencapai titik tertingginya. Bolsonaro menerbitkan UU yang mengizinkan pembalakan, pertambangan dan pembukaan wilayah hutan untuk kegiatan peternakan sapi (cattle ranching), dan pertanian kedelai serta tebu yang sangat masif.
Deforestasi berhasil dikendalikan ke titik terendahnya sampai 80% di bawah pemerintahan Presiden Lula DaSilva (2009-2018) yang Oktober lalu kembali terpilih setelah mengalahkan Bolsonaro.
Apakah Tipping Point mengancam Indonesia?
Hutan hujan tropis yang tersisa di dunia saat ini sangat sedikit. Ahli memperkirakan tutupan hutan hujan yang berarti tinggal tersisa di Amazon, di Asia Tenggara (mayoritas di Indonesia) dan di Kongo, Afrika. Namun isu tipping point nyaris tak pernah disebut di Indonesia.
Ilmuwan meterologi dan klimatologi yang juga kontributor untuk Tim Iklim PBB IPCC, Edvin Aldrian mengatakan karakter hutan hujan di Indonesia sangat berbeda dengan Amazon.
“Di sana hujan sangat dipengaruhi oleh kemampuan hutan untuk menghasilkan kondensasi sehingga bibit hujan terbentuk. Artinya kalau hutannya kekeringan, kemampuannya menghasilkan uap air yang nantinya menghasilkan hujan akan berkurang. Ini bisa berakibat serius, banyak wilayah kekeringan hutan kekurangan air untuk tumbuh mudah terjadi kebakaran,” jelas Edvin lewat telepon.
Sementara di Indonesia, hutan di Sumatera atau Kalimantan umumnya terletak dekat dengan laut, rata-rata jaraknya sekitar 100 kilometer menurut Edvin. Uap air dari laut lah yang kemudian turun sebagai hujan di hutan-hutan tersebut.
Dalam kondisi Indonesia dilingkupi dampak La Nina yang menyebabkan beberapa tahun terakhir curah hujan tinggi, daerah tutupan hutan Indonesia justru bertambah.
“Tipping point belum jadi isu mengancam di Indonesia, tidak perlu dikhawatirkan,” simpulnya.
Ancaman kebakaran hutan selama tiga tahun terakhir tidak terjadi karena pengaruh La Nina di Indonesia.
Tetap saja, Edvin mencatat deforestasi punya dampak sangat buruk untuk percepatan perubahan iklim. Rangkaian bencana akibat iklim ekstrim beberapa tahun terakhir harus dilihat antara lain sebagai dampak dari pergantian fungsi hutan di berbagai wilayah.
“Tiga tahun terakhir kita masih banyak diuntungkan karena ada La Nina. Tidak ada kekeringan ganas, tidak ada kebakaran hutan parah. Mestinya kita pakai kesempatan ini untuk recovery,” katanya.
“Di Jawa hutan-hutan jati milik Perhutani ada tendensi pemulihan, tapi lambat. Perhutani harus mulai sedikit-sedikit menanam. Kalimantan dan Sumatera memang parah, tapi Sumbar dan Aceh masih agak lumayan. Hutan-hutan sosial harus dilanjutkan – ini untuk rakyat ya, bukan untuk Industri.”
Ilmuwan David Gaveau yang mengembangkan Nusantara Atlas, sebuah peta kehutanan Indonesia, memperkirakan wilayah hutan yang masih dapat dikatakan perawan dari eksploitasi industri besar tinggal sekitar 25% saat ini. Sebagian besar ada di wilayah Papua yang disebutnya sebagai benteng terakhir hutan hujan tropis Indonesia.
Ia cemas luasan hutan ini tak akan bertahan lama karena berbagai ambisi membuka wilayah Papua dengan alasan Proyek pangan Food Estate dan jalur Trans Papua.
Sumber : CNN